Hoarding Disorder
Hoarding Disorder _Foto oleh : healthjade.com/
Hoarding Disorder: Pengertian, Gejala, Penyebab, dan Penanganan
Seringkali kita dipusingkan dengan barang-barang bekas yang menumpuk di gudang, mau dibuang punya pikiran suatu saat akan dipakai, padahal sudah bertahun-tahun barang tersebut tidak terpakai.
Jadilah barang-barang tersebut rusak dan menjadi sarang tikus atau tempat kucing beranak. Ternyata kebiasaan menumpuk barang bekas itu berbahaya juga ya, selain untuk kesehatan pribadi juga kesehatan sekitar. Dan memang ada sebagian orang yang berat untuk membuang barang bekas, karena barang bekas itu mempunyai sejarah tersendiri, padahal sudah tak layak pakai bahkan di rongsok sekalipun tidak akan laku.
Orang yang kesulitan membuang atau menumpuk barang bekas istilah medisnya disebut hoarding disorder, yuk kita simak tulisan mengenai hoarding disorder, siapa tau kita sendiri yang mengalaminya atau orang sekitar kita.
Pengertian Hoarding Disorder
Hoarding Disorder atau gangguan menimbun adalah kondisi kesehatan mental di mana seseorang mengalami kesulitan untuk membuang atau melepaskan barang-barang, terlepas dari nilai atau kegunaannya. Akibatnya, rumah atau ruang pribadi dipenuhi oleh tumpukan barang yang tidak teratur, mengganggu fungsi sehari-hari, dan sering menimbulkan masalah kesehatan, keselamatan, maupun sosial.
Gangguan ini bukan sekadar kebiasaan menyimpan barang, melainkan suatu kondisi serius yang telah diakui dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, Fifth Edition (DSM-5) sebagai gangguan tersendiri.
Gejala Hoarding Disorder
Beberapa tanda dan gejala yang sering muncul pada penderita hoarding disorder antara lain:
1. Kesulitan membuang barang meski barang tersebut sudah rusak, tidak berguna, atau tidak bernilai.
2. Keyakinan berlebihan bahwa barang masih berguna atau “sayang kalau dibuang.”
3. Kecemasan atau rasa bersalah ketika harus membuang barang.
4. Penumpukan barang secara berlebihan hingga menutupi ruangan, lorong, meja, atau tempat tidur.
5. Lingkungan menjadi tidak sehat atau berbahaya, misalnya risiko kebakaran, jatuh, atau menimbulkan penyakit akibat debu dan kotoran.
6. Gangguan fungsi sosial dan keluarga, seperti konflik dengan orang terdekat, rasa malu, atau isolasi sosial.
7. Dalam kasus berat, penderita juga menyimpan barang-barang aneh, seperti sampah, makanan basi, atau hewan secara berlebihan (animal hoarding).
Penyebab Hoarding Disorder
Hoarding Disorder biasanya tidak memiliki satu penyebab tunggal, melainkan dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti:
1. Faktor psikologis
--> Trauma masa lalu (kehilangan orang terdekat, bencana, atau kemiskinan).
--> Gangguan kecemasan atau depresi.
--> Perfeksionisme atau rasa takut mengambil keputusan salah.
2. Faktor biologis
Perubahan pada fungsi otak, khususnya area yang terkait dengan pengambilan keputusan dan pengendalian diri.
Riwayat keluarga dengan perilaku menimbun dapat meningkatkan risiko.
4. Faktor lingkungan
Pola asuh masa kecil yang keras atau pengalaman hidup penuh keterbatasan dapat membuat seseorang lebih sulit melepas barang.
Dampak Hoarding Disorder
Gangguan menimbun bisa berdampak luas, baik secara fisik maupun psikologis, di antaranya:
--> Kesehatan fisik: risiko penyakit pernapasan, alergi, infeksi, hingga kecelakaan akibat ruangan yang berantakan.
--> Kesehatan mental: rasa malu, cemas, depresi, dan isolasi sosial.
--> Hubungan sosial: konflik keluarga, kehilangan kepercayaan, hingga perceraian.
--> Kehidupan sehari-hari: terganggunya aktivitas karena ruang tidak bisa difungsikan sebagaimana mestinya.
-- Aspek hukum atau keselamatan: rumah bisa dianggap tidak layak huni atau melanggar aturan keselamatan.
Penanganan Hoarding Disorder
Mengatasi hoarding disorder memerlukan pendekatan yang hati-hati, karena penderita biasanya merasa terikat secara emosional dengan barang-barangnya. Beberapa langkah penanganan yang umum dilakukan antara lain:
1. Terapi Perilaku Kognitif (CBT)
--> Membantu penderita memahami pola pikir keliru tentang barang.
--> Melatih keterampilan mengambil keputusan dan mengelola kecemasan saat membuang barang.
2. Obat-obatan
Antidepresan atau obat lain dapat diberikan bila hoarding disorder disertai depresi atau gangguan obsesif-kompulsif (OCD).
3. Dukungan keluarga dan lingkungan
Membantu penderita secara emosional tanpa memaksa, memberi dorongan untuk membuat perubahan bertahap.
4. Pendekatan bertahap
Pembersihan dilakukan sedikit demi sedikit, dimulai dari area kecil agar penderita tidak merasa terancam.
5. Konsultasi profesional
Psikolog, psikiater, atau konselor kesehatan mental dapat memberikan strategi yang tepat sesuai tingkat keparahan.
Contoh Kasus Nyata Hoarding Disorder
1. Kasus Internasional – “Collyer Brothers” (Amerika Serikat)
Salah satu kasus hoarding paling terkenal adalah saudara Collyer, Langley dan Homer, yang tinggal di New York pada awal abad ke-20. Mereka dikenal menimbun ribuan barang di rumahnya, mulai dari surat kabar, perabot, hingga benda-benda tak berguna. Rumah mereka dipenuhi tumpukan barang setinggi langit-langit. Pada tahun 1947, keduanya ditemukan meninggal di rumah tersebut—Homer karena kelaparan dan penyakit, sementara Langley tewas tertimpa tumpukan barang yang ia buat sendiri. Kasus ini menjadi perhatian dunia dan hingga kini menjadi contoh ekstrem bahaya hoarding disorder.
2. Kasus “Animal Hoarding” – Amerika Serikat
Seorang wanita paruh baya di Ohio ditemukan memelihara lebih dari 100 ekor kucing di rumahnya. Sayangnya, sebagian besar hewan tersebut hidup dalam kondisi tidak sehat karena kurang perawatan. Ia mengaku tidak tega menolak atau melepas kucing liar, sehingga terus menambah jumlah hewan peliharaan. Kondisi rumahnya menjadi kotor, berbau, dan berbahaya bagi kesehatan. Kasus ini menunjukkan bagaimana hoarding tidak hanya terjadi pada benda, tetapi juga pada hewan.
3. Kasus di Indonesia
Di beberapa kota besar, sering ditemukan berita tentang rumah yang penuh sesak oleh barang-barang tak terpakai. Misalnya, seorang warga lanjut usia di Jakarta pernah diberitakan menimbun sampah plastik, kardus, dan barang bekas hingga memenuhi rumah dan meluber ke jalan. Tetangga mengeluh karena bau menyengat serta risiko kesehatan yang ditimbulkan. Saat diminta membuang, sang pemilik menolak keras karena merasa semua barang itu masih berguna. Kasus seperti ini menunjukkan bahwa hoarding disorder juga nyata terjadi di Indonesia, meski sering dianggap sekadar “kebiasaan buruk.”
Pelajaran dari Kasus Nyata
Dari contoh-contoh di atas, ada beberapa hal penting yang bisa dipahami:
Hoarding disorder bisa berakibat fatal bila tidak ditangani, baik bagi penderita maupun lingkungannya.
Tidak selalu berkaitan dengan kemiskinan; penderita bisa berasal dari berbagai latar belakang sosial ekonomi.
Dukungan dari keluarga, masyarakat, dan penanganan profesional sangat diperlukan agar penderita tidak semakin terisolasi.
Penumpukan barang atau hewan bukan sekadar soal kerapian, tetapi terkait dengan kesehatan mental yang serius.
