HEADLINE
Mode Gelap
Artikel teks besar
Ruang bercerita

Ceritakan pengalamanmu di sini

Candi Cangkuang

Candi Cangkuang
Candi Cangkuang
| pembaca

 

Candi Cangkuang — Gambaran Umum & Lokasi

Salah satu rezeki yang saya rasakan, ketika mempunyai kesempatan dan kesehatan untuk mengikuti kegiatan Dharmawanita Persatuan Dinas Pendidikan Kota Cirebon. Merayakan HUT ke-26 DWP dan dua tahun sekali acara rutin ke luar kota. 

Tahun ini saya diberi kesempatan untuk berkunjung ke Garut dan untuk pertamakalinya mengunjungi Candi Cangkuang. Untuk sampai ke lokasi Candi Cangkuang kami harus naik rakit, setelah puluhan tahun saya merasakan naik rakit kembali. 

Saya ingin berbagi informasi kepada para sahabat yang selalu setia membaca tulisan saya lewat blog, memberi oleh-oleh berupa foto dan ulasan tentang Candi Cangkuang. 

Candi Cangkuang adalah sebuah candi Hindu kuno yang terletak di Kampung Pulo, Desa Cangkuang, Kecamatan Leles, Kabupaten Garut, Jawa Barat.

Candi ini berdiri di atas sebuah daratan kecil yang dulunya sebuah pulau di tengah danau kecil  yang disebut Situ Cangkuang.
Area ini selain candi meliputi kampung tradisional, makam kuno, serta bagian dari kawasan cagar budaya.

Nama “Cangkuang” sendiri berasal dari nama tanaman pandan sejenis (Pandanus furcatus) yang banyak tumbuh di sekitar kawasan tersebut, masyarakat lokal banyak memanfaatkan daunnya untuk membuat tudung, tikar, atau pembungkus gula aren.

Sejarah Penemuan & Pemugaran

Penemuan Kembali

  • Catatan pertama keberadaan candi berasal dari seorang peneliti Belanda bernama Vorderman dalam buku Notulen Bataviaasch Genootschap terbitan tahun 1893, ia menyebutkan bahwa di Desa Cangkuang terdapat sebuah arca (patung) dan makam kuno.
  • Namun setelah itu lokasi tersebut sempat terlupakan sampai akhirnya, pada 9 Desember 1966, sebuah tim peneliti (dipimpin oleh Harsoyo dan Uka Tjandrasasmita) melakukan penelitian berdasarkan laporan Vorderman dan menemukan kembali fondasi serta batu-batu candi di Kampung Pulo.

Pemugaran

  • Setelah penelitian berlangsung pada 1967–1968, langkah pemugaran dilakukan antara tahun 1974–1976.
  • Tantangan utama: hanya sekitar 40% batuan candi asli yang berhasil dikumpulkan. Sisanya dibangun ulang menggunakan bahan lain seperti semen, batu koral, pasir, dan besi, dibuat semirip mungkin dengan bentuk asli.
  • Setelah dipugar, candi kembali berbentuk utuh: memiliki tinggi sekitar 8,5 meter, dengan alas bujur sangkar berukuran 4,5 × 4,5 meter.

Arsitektur & Struktur Candi

  • Candi Cangkuang dibangun dari batu andesit.
  • Candi memiliki bentuk arsitektur yang sederhana, tidak banyak hiasan relief atau ornamen dekoratif, mirip dengan candi-candi awal di Jawa Tengah, seperti candi di dataran tinggi Dieng.
  • Atapnya berbentuk susun-susun (piramida), dengan tiap susun dihiasi mahkota kecil (mirip dengan atap di kompleks candi seperti Gedong Songo).
  • Pintu masuk ke ruang dalam candi terletak di sisi timur, ukuran lebar  75 cm, tinggi 1 meter. Di dalam terdapat ruang seluas  2,2 m², tinggi 3,38 m.
  • Di ruang dalam terdapat sebuah arca  berupa patung dewa Hindu, yaitu Siwa dengan tinggi sekitar 62 cm. Namun, arca ini sudah dalam kondisi rusak: tangan patah dan muka banyak terkikis. Di kaki arca terdapat pahatan kepala sapi (simbol dari tunggangan Siwa yaitu Nandi).

Kesederhanaan gaya arsitektur dan tingkat kelapukan batu menunjukkan bahwa candi ini diperkirakan dibangun pada abad ke-7 hingga ke-8 Masehi, menjadikannya salah satu candi Hindu tertua di wilayah Jawa Barat.

Dimensi, Lingkungan & Keunikan Lokasi

  • Situs candi berada di sebuah pulau kecil dalam danau Situ Cangkuang — dulu danau lebih luas, sekarang airnya menyusut dan sebagian sudah direklamasi menjadi sawah.
  • Pulau tempat candi disebut Pulau Panjang (bagian dari gugus pulau di Situ Cangkuang, bersama beberapa pulau kecil lainnya).
  • Di pulau ini — selain candi — terdapat kampung tradisional (kampung Pulo), serta makam kuno dari seorang tokoh penting yakni Arief Muhammad (atau Embah Dalem Arief Muhammad). Makam ini dianggap sebagai makam leluhur penduduk setempat sekaligus menandai proses Islamisasi di wilayah tersebut.
  • Karena keunikan ini — perpaduan antara situs Hindu kuno dengan makam Islam kuno dan pemukiman tradisional Sunda — kawasan Candi Cangkuang adalah semacam “mikrokosmos” keberagaman agama dan budaya di Jawa Barat.

Signifikansi Sejarah & Budaya

  • Candi Cangkuang termasuk salah satu dari sedikit candi Hindu-Buddha yang pernah ditemukan di wilayah Jawa Barat (Tatar Sunda), bersama dengan beberapa candi lain seperti Batujaya dan Bojongmenje.
  • Karena jarangnya peninggalan candi di Jawa Barat, yang lebih sering dikenal dengan situs Islam atau arsitektur kaji (arsitektur rumah tradisional), Candi Cangkuang menjadi penting sebagai bukti bahwa wilayah Sunda juga pernah mengalami periode Hindu-Buddha.
  • Kehadiran makam Arief Muhammad di dekat candi menunjukkan bagaimana proses transisi keislaman terjadi di wilayah tersebut, kadang dengan cara yang damai dan akomodatif terhadap warisan masa lalu, bukan pemusnahan total.
  • Karena itu, kawasan Cangkuang,  candi, makam, kampung tradisional, dan danau,  memiliki nilai sejarah, religi, arkeologi, dan antropologis yang besar sebagai representasi interaksi budaya Hindu, Sunda, dan Islam di Jawa Barat.

Pengunjung, Wisata & Implikasi Masa Kini

  • Saat ini Candi Cangkuang sering dikunjungi wisatawan, baik yang tertarik sejarah/cagar budaya, maupun wisata religius (lokasi makam & ziarah).
  • Karena lokasinya di tengah danau/pulau kecil, akses menuju candi bisa melibatkan perahu tradisional, menambah pengalaman unik bagi pengunjung.
  • Situs ini dapat membantu masyarakat dan pengunjung memahami dan menghargai sejarah kebudayaan Sunda serta keragaman identitas, bukan hanya dari masa Hindu-Buddha, tapi juga masa peralihan menuju Islam.

Tantangan & Persepsi Lokal

  • Salah satu kendala dari upaya pemugaran adalah hilangnya sebagian besar batu asli, hanya  40% yang berhasil dikumpulkan. Selebihnya direkonstruksi ulang dengan bahan modern, sehingga bagian besar candi saat ini adalah hasil rekonstruksi.
  • Pemugaran ini sempat menimbulkan kontroversi lokal, sebagian warga khawatir bahwa “menghidupkan” kembali candi Hindu bisa berdampak pada sensitivitas keagamaan, karena lingkungan sekarang mayoritas Muslim.
  • Meskipun demikian, keberadaan makam Islam di dekat candi menjadi simbol toleransi dan harmoni antar warisan budaya, menunjukkan bahwa situs tersebut bukan sekadar monumen arkeologi, tetapi juga saksi lama pluralitas agama dan budaya.

Candi Cangkuang bukan sekadar “bangunan kuno”, ia adalah simbiosis sejarah, budaya, dan agama di Jawa Barat. Sebagai salah satu dari sedikit candi Hindu-Buddha yang masih tersisa di Tatar Sunda, ia menawarkan wawasan berharga tentang masa lalu: bagaimana masyarakat Sunda dulu hidup, beragama, dan membangun peradaban. Faktanya, kawasan ini juga mencerminkan dinamika perubahan zaman: dari Hindu ke Buddha (atau Hindu-Buddha), dan kemudian ke Islam, tanpa menghapus warisan masa lalu secara brutal.

Keunikan inilah yang membuat Candi Cangkuang penting, bukan hanya bagi ahli sejarah atau arkeolog, tapi juga bagi masyarakat umum, sebagai media refleksi tentang keberagaman, toleransi, serta warisan identitas yang kompleks dan bertingkat.

Harapan saya semoga anak cucu kita masih bisa melihat dan mengunjungi tempat-tempat bersejarah secara langsung, bukan hanya mendengar dan melihat di internet. Saya senang bisa mengunjungi Candi Cangkuang yang tempatnya masih asri dan bentuk rumah seperti jaman dahulu. 

Melihat rumah yang masih berbentuk panggung mengingatkan rumah kakek jaman dulu di Daerah Cidadap Gunung Halu Bandung Barat. 

ADSN1919

Posting Komentar
Tutup Iklan
www.domainesia.com

]]>